BANDA ACEH — Seorang dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi (Sp.OG) pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Aceh Tamiang berinisial EA, diduga melakukan malapraktik terhadap seorang pasien berinisial RD (30).
Akibatnya korban mengalami gejala yang tidak wajar. Vaginanya mengalami nyeri hebat dan mengeluarkan cairan kuning bercampur darah.
Hal tersebut disebabkan adanya gumpalan kain kasa (tampon) sebesar kepalan tangan yang tertinggal dalam vaginanya selama berbulan-bulan.
Kepala Operasional YLBHI-LBH Banda Aceh Muhammad Qodrat SH MH dalam keterangannya, Senin (13/11/2023) menyampaikan, kejadian bermula pada 28 Juni 2023.
Saat itu RD baru melahirkan anak pertamanya secara normal pada seorang bidan di Desa Purwodadi Kecamatan Kejuruan Muda Aceh Tamiang.
Setelah satu jam bayi dilahirkan, RD mengalami Retensio Plasenta, yakni kondisi dimana plasenta bayi tidak kunjung keluar dari rahim ibu setelah 30 menit proses persalinan.
RD kemudian dirujuk ke RSUD Aceh Taminag untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Di RSUD Aceh Tamiang, RD mendapat tindakan operasi pembedahan perut (Post LaparatomiI) untuk mengeluarkan plasenta dari rahimnya.
Pasca operasi, RD dirawat intensif selama beberapa hari di ruang Intenssive Care Unit (ICU), hingga diperbolehkan pulang pada tanggal 5 Juli 2023.
Menurut Surat Keterangan dokter RSUD Tamiang Nomor: 445/2586 tanggal 11 Juli 2023 yang ditandatangani oleh EA, RD didiagnosa mengalami Post Laparatomi a/i Morbidly Adherent + Riwayat Syok Hipovolemik P1 Post Partum Spontan Luar di Bidan.
Pasca pembedahan perut di RSUD Tamiang, RD mulai merasakan nyeri di bagian vaginanya, kesakitan ketika buang air, serta kesusahan ketika hendak duduk dan berjalan.
Vagina RD juga mulai mengeluarkan cairan kuning bercampur darah yang mengeluarkan bau tidak sedap.
Nifasnya tidak kunjung berhenti meski sudah memasuki hari ke-70 pasca persalinan. EA selaku dokter yang menangani RD menduga, vagina RD mengalami infeksi karena adanya lubang antara vagina dan anus yang mengakibatkan masuknya feses/tinja ke dalam vagina.
Untuk memastikan hal itu, EA harus melakukan prosedur perabaan dengan cara memasukkan satu jari melalui anus disertai jari lainnya melalui vagina.
Akan tetapi, RD yang masih merasa kesakitan hebat pada vaginanya menolak prosedur tersebut.
EA kemudian menerangkan kepada RD, lubang itu akan tertutup dengan sendirinya seiring berjalannya waktu tanpa perlu prosedur pemeriksaan lebih lanjut.
Karena kondisinya semakin memburuk, pada 12 September 2023, RD memeriksakan dirinya ke salah seorang dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi lainnya di Kota Langsa.
Dalam pemeriksaan itu baru diketahui adanya benda asing dalam vagina RD.
Dokter kemudian menyarankan untuk mengeluarkan benda asing tersebut melalui tindakan operasi, karena kondisi RD tidak memungkinkan untuk dilakukan pengambilan benda asing itu secara langsung melalui vagina.
Akhirnya pada 13 September 2023, RD kembali menjalani operasi di Rumah Sakit Umum Cut Mutia Kota Langsa.
Dari hasil operasi itu barulah diketahui, benda asing yang ada dalam vagina RD adalah gumpalan tampon atau kain kasa yang ukurannya kurang lebih sebesar kepalan tangan.
Tampon tersebut diduga berasal dari tindakan bedah perut (Post LaparatomiI) yang dijalani RD sebelumnya di RSUD Aceh Tamiang.
Mengetahui hal itu, keluarga RD kemudian mengadukan kejadian tersebut ke RSUD Aceh Tamiang.
Direktur RSUD Aceh Tamiang meresponnya dengan mengunjungi rumah RD pada 19 September 2023.
Dalam kesempatan itu, Direktur RSUD Tamiang membenarkan adanya tampon yang dimasukkan saat dilakukan tindakan operasi di RSUD Tamiang.
Namun menurutnya, berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP) rumah sakit, tampon harus sudah dikeluarkan dalam jangka waktu 1×24 jam.
Atas kejadian ini, RD didampingi YLBHI-LBH Banda Aceh telah membuat laporan ke Polda Aceh pada 2 Oktober 2023 sebagaimana tertuang dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan Nomor STTLP/213/IX/2023/SPKT/Polda Aceh.
Dokter EA yang menangani RD diduga telah melakukan malpraktik yang melanggar ketentuan Pasal 440 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) dan/atau Pasal 360 jo Pasal 361 KUHP.
Selain melanggar ketentuan pidana, EA juga diduga telah melanggar Pasal 8 Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pasal 7a Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang menuntut seorang dokter bersikap profesional serta wajib memberikan pelayanan secara kompeten dalam setiap praktik medisnya.
“Kami berharap pihak Polda Aceh dapat mengusut kasus ini hingga tuntas dan memproses setiap orang yang diduga terlibat. Tidak hanya dokter yang bersangkutan, pihak RSUD Aceh Tamiang juga harus bertanggung jawab terhadap segala kerugian yang diderita oleh korban RD,” ujar Muhammad Qodrat.
Hal itu sesuai ketentuan Pasal 193 UU Kesehatan yang menentukan rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit.
Apabila pihak rumah sakit berhak menerima imbalan jasa pelayanan dari pasien, maka sepatutnya rumah sakit juga harus bertanggung jawab terhadap semua kerugian pasien yang disebabkan kelalaian pelayanan.
“Kami juga mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang memberikan atensi dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap rumah sakit plat merah itu. Hal tersebut penting dilakukan demi mengembalikan kepercayaan masyarakat, serta menjamin pelayanan prima
bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan medis,” harapnya.
Dengan demikian, kejadian serupa tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang.
“Kami menilai selama ini banyak masyarakat Aceh meragukan pelayanan medis darifasilitas kesehatan di daerah. Karena itu, banyak masyarakat Aceh memilih untuk berobat ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Akan tetapi opsi itu hanya tersedia bagi masyarakat golongan menengah ke atas. Sedangkan bagi masyarakat miskin, tidak ada pilihan lain selain berobat pada fasilitas kesehatan terdekat, terlepas baik atau buruknya pelayanan kesehatan yang diterimanya,” ungkapnya.
“Oleh sebab itu, sangat penting bagi pemerintah setempat menjamin mutu pelayanan medis di daerahnya masing-masing, agar hak atas kesehatan juga benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat, termasuk masyarakat golongan menengah ke bawah,” pungkasnya. (Veripay.id)
Selengkapnya