BETAPA terkejutnya ketika mendapat penjelasan dari Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh bahwa pengurusan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat bukan menjadi kewenangan Pemerintah Aceh, tetapi harus mendapat rekomendasi Kementerian ESDM.
Kebijakan tersebut tentunya sudah melangkahi kewenangan UUPA, khususnya pada pasal yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam (SDA) Aceh.
Apalagi kita ketahui bahwa rujukan penetapan WPR adalah RUTR yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) khususnya kewenangan penerbitan perizinan pertambangan komoditas Mineral Logam dan Batu Bara, dapat dilakukan oleh Pemerintah Aceh, dengan batasan luas wilayah pertambangan 5000 Ha termasuk menyangkut perizinan Pertambangan Rakyat dan Wilayah Pertambangan rakyat.
Tentunya kewenangan Aceh untuk mengatur perizinan pertambangan komoditas minerba, merupakan wujud dari kekhususan Aceh yang diatur dalam Undang-undang, dalam rangka memberi ruang yang lebih luas demi kesejahteraan rakyat Aceh.
Terlebih lagi tentang Pertambangan Rakyat yang menjadi ujung tombak percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat, mengingat sumber daya alam Aceh di sektor minerba yang sangat melimpah, bahkan diprediksi melebihi kekayaan alam Papua.
Pasal 156 UUPA menyebutkan : (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya.
Jika hari ini Kementerian ESDM secara sepihak mengambil alih kewenangan perizinan pertambangan komoditas minerba secara sepihak, hal ini menunjukan adanya pelanggaran
konstitusi yang mengeliminasi UUPA sebagai produk hukum dari kesepakatan damai Aceh serta memangkas kekhususan Aceh yang diatur oleh undang-undang dan menutup kesempatan rakyat Aceh untuk hidup sejahtera.
Disisi lain sikap arogan Kementerian ESDM terhadap UUPA khususnya di bidang pengelolaan pertambangan minerba, patut diduga bagian dari skenario pesanan oligarki tambang, untuk memonopoli kekayaan sumber alam Aceh.
Kepada stakeholder pemangku kebijakan Aceh, menghadapi tindakan sepihak Kementerian ESDM, diam tidak lagi bermakna emas, tapi bisa jadi bagian dari praktek oligarki tambang.
Oleh karenanya perlu diambil langkah tegas dan terukur untuk mengawal implementasi UUPA secara kaffah, demi kelangsungan kesepakatan damai Aceh dan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat Aceh.
Pertambangan Rakyat perlu diberi ruang sebesar-sebesarnya, jika menginginkan kekayaan alam Aceh dinikmati oleh Rakyat.
Jangan biarkan Aceh bernasib seperti provinsi lain di Indonesia, dieksploitasi oleh para oligarki tambang yang hanya menyisakan kerusakan lingkungan dan kemiskinan yang semakin akut.
Penulis:
Sri Radjasa Chandra MBA, Pemerhati Aceh
Selengkapnya